Tiga Hari “Visita” Timor Leste
Sebagai delegasi dari Cis Timor di Timor Barat Indonesia, satu lembaga swadaya masyarakat yang masih konsen kerja memantau dan mengadvokasi perkembangan kehidupan warga eks pengungsi Timor-Timur yang tinggal di kamp dan settlemen Kupang dan Atambua , adalah satu penghargaan besar tersendiri turut serta dalam pertemuan evaluasi repatriasi di Dili dan pertemuan keluarga di Bazartete. Ini di maksud untuk memperkuat kerja sama yang sudah di bangun, juga mempererat tali persaudaraan dengan para aktivis seperjuangan dan masyarakat di Timor Leste umumnya.
Sebelumya bersama teman-teman Grupu Fila Hikas Knua di Dili telah memfasilitasi 58 keluarga 202 jiwa warga eks pengungsi Timor-Timur yang secara sadar memilih kembali ke tanah kelahiran mereka Timor Leste sepanjang tahun 2010-2011. Dan juga serangkaian kegiatan lain yang relevan dengan eks pengungsi Timor-Timur seperti pertemuan perbatasan juga rekonsiliasi keluarga.
Kunjungan ini dilakukan di dua tempat, Dili dan Bazartete. Dari kunjungan itu di adakan pertemuan di tiga tempat terpisah, pertemuan membahas evaluasi repatriasi , pertemuan perbatasan serta rencana konkrit ke depan. Bersama teman-teman Grupu Fila Hikas Knua , staf di Menisterio Estrangerio di Dili, dan Escravas Do Sagrado Coracao De Jejus di Bazartete, Yayasan Suster Monika. Saya menggambarkan ini secara umum lewat tulisan secara berurutan.
****
Lima Jam Bersama Warga Bazartete
“Rumah kami di atas puncak gunung itu, kita akan bertemu dengan masyarakat di tempat itu” kata Suster Monika sambil menunjukan ke arah sebuah bangunan yang
Berada di puncak gunung pada saya dan Mas Nug
Berjarak 45 km dari kota Dili, distric Liquisa satu dari 12 distric yang paling dekat dengan ibu kota Negara Timor Leste itu. Perjalanan yang di tempuh untuk bisa sampai ke sub distric Bazartete distric Liquisa satu jam lamanya, asiknya perjalanan ini karena pemandangan pantai dan pengunungan yang begitu indah. Saya (Cis Timor) Mas Nug dan Suster Monika (Grupu Fila Hikas Knua) dengan menumpangi kendaraan Hi-Lux putih yang di setir oleh Suster sendiri melaju dengan kecepatan 60-70 km/jam dari Dili.
Dengan jalan yang berkelok-kelok kadang membuat saya pusing juga, tapi itu semua terobati dengan pemandangan gunung dan pantai yang cukup indah. Kami sampai di Bazartete pukul 11:00 siang. Daerahnya dingin, sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan tumbuh tanaman kopi yang belum berbuah. Bazartete adalah salah satu sub distric di distric Liquisa.
Pertemuan di Bazartete di lakukan pada minggu 24 Juli 2011 pukul 11:30 siang, bertempat di biara Suster Monika “Escravas Do Sagrado Coracao De Jejus” , cuma 20 meter jaraknya dari gereja. Yayasan Suster Monika sendiri bekerja melayani umat di Bazartete. Pertemuan ini diikuti 20 orang dari desa Fatumasi, Metago, dan Fahilebo, desa-desa itu yang keluarganya banyak tinggal di wilayah Indonesia khususnya Kabupaten Belu Nusa Tengara Timur. Hadir di pertemuan itu lebih banyak orang tua , hanya ada 1-2 orang pemuda.
Tujuan dari pertemuan ini adalah : untuk menjelaskan secara rinci serta alasan gagalnya pertemuan di perbatasan antara komunitas Bazartete yang ada di Timor Leste dengan komunitas Bazartete yang ada di Atambua –Indonesia pada sabtu 18 Juni 2011 lalu , dan juga mencari solusi konkrit untuk rencana selanjutnya. Serta menginformasikan kondisi keluarga yang masih tinggal di wilayah Atambua dan sekitarnya.
Pertemuan perbatasan (yang gagal dilaksanakan ) itu di fasilitasi oleh Yayasan Suster Monika, Cis Timor di Atambua membantu melakukan konsulidasi dengan keluarga –keluarga yang tinggal di kamp dan settlemen di Atambua, semua biaya di tanggung oleh Yayasan Suster Monika. Namun karena adanya miskomunikasi antara Imigrasi Indonesia dan Kemenlu di Dili, buntutnya pertemuan itu tidak jadi di lakukan. Imigrasi Indonesia menganggap bahwa informasi yang mereka terima dari Konsulat Timor Leste di Kupang lewat surat terkesan mendadak, jadi mereka tidak punya waktu untuk melakukan persiapan dan lain sebagainya.
Dan juga untuk melakukan pertemuan di perbatasan harus ada surat dari pemerintah daerah setempat yang di tujukan kepada Imigrasi, TNI dan Polisi perbatasan. Ini di maksud untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan terjadi di perbatasan saat pertemuan. Bagi mereka ini di lakukan karena program pertemuan perbatasan sudah tidak ada lagi.
Keluarga di Bazartete sangat merindukan keluarga mereka di Atambua dan sekitarnya untuk bertemu dan bahkan kembali ke kampung halamanya paska jajak pendapat 1999 di Timor-Timur waktu itu, itu tergambar dalam pertemuan itu , bagi mereka masalah politik jangan di campur adukan dengan kehidupan sehari-sehari. Situasi di Bazartete sangat kondusif, rumah ,lahan perkebunan yang di miliki oleh keluarga yang masih tnggal di Atambua tidak di tempati dan di garap, ini karena undang-undang di Timor Leste melarang bahwa tidak boleh mengarap dan tinggal di lahan yang bukan miliknya, untuk itu keluarga di Bazartete sangat mengaharapkan keluarga di Atambua untuk kembali., terlebih mereka yang berprofesi sebagai petani. Berbagai cara mereka lakukan, dengan melakukan kunjungan ke Atambua pada tahun 2005 lalu untuk melihat kondisi keluarga mereka yang saat itu masih tinggal di kamp pengungsian, menulis surat dan rencana pertemuan di perbatasan yang gagal di lakukan.
Rekomendasi akhir dari pertemuan itu disepakati bersama untuk membuat video dan wawancara keluarga di Timor Leste untuk di putar di keluarga yang masih berada di Indonesia.
Tujuannya ialah agar keluarga di Indonesia bisa melihat secara langsung situasi dan kondisi daerah mereka. Karena selama ini keluarga yang ada di Indonesia belum mendapatkan informasi yang benar mengenai situasi daerah mereka di Timor Leste.
Pembuatan video ini akan di lakukan oleh Charles Meluk dari The Frontiers salah satu anggota Grupu Fila Hikas Knua.
Pertemuan itu berakhir pukul 04:00 sore, saya, Mas Nug, dan Suster Monika kembali ke Dili. Kami kembali menikmati perjalanan sambil mendiskusikan dalam mobil proses diskusi tadi.
****
Ivonia & Claudia yang ramah di Kantor “Menisterio Estrangerio”
Kantor yang megah, bercat putih, berlantai tiga , salah satu kantor Pemerintah “Menisteiro Estrangerio” Timor Leste yang dibangun oleh Pemerintah Cina. Ini kantor kedua dibangun oleh Cina, yang pertama di bangun adalah kantor presiden Timor Leste. Posisinya berada tepat di pinggir pantai hanya di pisahkan oleh jalan raya. Di depan terdapat pos security yang selalu memeriksa bagi tamu yang berkunjung.
Tertulis di dada kanan “Seguranca” dan dada kiri “Gardamor” pada seragam para security yang bertugas. “ cukup tinggalkan KTP saja, passport tidak usah” ujar seorang security ketiga saya melapor.
Siang itu saya dan Suster Monika sudah berjanji untuk bertemu dengan Mana Ivonia dan Claudia di kantor itu pukul 03:00 sore. Untungnya ruangan mereka berada di lantai satu jadi tidak perlu capek menapaki anak tangga. Mana Ivonia dan Claudia begitu kontras dari segi fisik, Ivonia itu memiiki tubuh ramping, kulit sawo matang, sedangkan Claudia itu gemuk, kulit hitam manis. Dua-duanya beramput panjang.
Mereka berdua yang mengkoordinir dan melakukan diplomasi dengan Konsulat Timor Leste di Kupang, Imigrasi Indonesia untuk pertemuan perbatasan pada 18 Juni di Motaain yang gagal di laksanakan. Mereka sangat ramah, dan gaya bicara dengan bahasa tetum ala Dili.
Tujuan pertemuan ini untuk saling berbagi informasi soal pertemuan perbatasan dan juga perkenalan saya dengan mereka. “ saya mendapat sms dari Nato juga kalau pertemuan di perbatasan itu gagal di lakukan, kita hanya dapat sms saja tapi belum lihat orangnya yang mana. Saya sangat berterima kasih karena Madre sudah membawa Nato datang ke sini.” Ujar Mana Claudia dengan senyum.
Untuk melakukan pertemuan di perbatasan harus ada surat dari pemerintah daerah setempat yang di tujukan kepada Imigrasi, TNI dan Polisi perbatasan. Ini di maksud untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan terjadi di perbatasan saat pertemuan. Bagi Imigrasi Indonesia ini di lakukan karena program pertemuan perbatasan sudah tidak ada lagi.Informasi ini yang saya baagikan kepada mereka berdua, dan mereka memahami akan kondisi itu.
Karena waktu yang mendadak, Imigrasi Indonesia tidak bisa mempersiapkan dan mengijinkan untuk di lakukannya pertemuan itu. Ini adalah pengalaman kita semua juga menjadi pelajaran untuk ke depan.
Suster Monika memberitahukan kepada Mana Ivoni dn Claudia bahwa tidak akan melakukan pertemuan di perbatasan lagi, keputusan terakhir adalah membuat video di Bazartete untuk di berikan ke keluarga yang masih tinggal di Atambua.
Staf di kantor ini berpakaian bebas ,santai dan rapi, sangat beda bila di bandingkan dengan kantor-kantor Pemerintahan di Indonesia yang mewajibkan berseragam pada stafnya setiap hari.
Saya meninggalkan kantor “Kementrian Luar Negeri” Timor Leste itu dengan perasaan lega dan senang. Semua persoalan sudah jelas tinggal bagaimana membenahinya bila kelak dilakukan lagi pertemuan di perbatasan itu.
*****
Malam Terakhir Di Pondok HAK
“Itu nanti kita bahas dalam pertemuan internal Grupu, yang terpenting sekarang kita membahas apa yang di pertanyakan oleh Nato, karena itu sangat pentinng sekali dalam kerja kita” kata Manuel sambil mengakhiri sesi pertama jelang makan malam.
Pondok kecil di kantor Yayasan HAK Farol Dili pukul 07:00 malam waktu Timor Leste , bersama dengan teman Grupu Fila Hikas Knua (Mas Nug, Suster Monika, Carlito, Mario dan Manuel) dan Cis Timor (Anato), kami melakukan pertemuan evaluasi kedua. Pertemuan pertama pada Juni 2010 paska pemulangan 5 keluarga 12 jiwa ke Dilor Viqueque. Beberapa teman grupu tidak hadir malam itu, kaena mereka mempunyai kesibukan tersendiri yang tidak bisa mereka tinggalkan.
Di pondok kecil yang areanya luas seperti kamar kos itu di terangi dua lampu neon, beberapa bangku panjang, dan dua meja, pas untuk kami berlima duduk dan membicarakan agenda kami, beberapa teman lain di kantor HAK juga datang untuk mendengarkan pembicaraan kami.
Malam itu hal teknis yang kami bicarakan adalah; pemantapan koordinasi baik di Timor Barat Indonesia maupun di Timor Leste, Situasi Timor Leste jelang pemilu tahun depan apa masih relevan memfasilitasi pemulangan,serta hal lain yang berakitan dengan data-data dan pengurusan dokumen-dokumen.
Menurut Carlito sebagai koordinator Grupu situasi dan keamanan di Timor Leste sangat kondusif, tetapi bisa saja terjadi konflik jelang itu pemilu dan itu kita semua tidak bisa menebak, hal itu di aminin oleh teman-teman yang lain. Dan wajar saja menjelang Pilpres ada saja orang selalu membua isue-isue yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan tertentu.
Menurut teman-teman lain bila ada keinginan warga eks pengungsi yang mau kembali tetap saja memfasiltiasi mereka. “ Kalau pun ada orang-orang di dalam partai tertentu yang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk maksud lain itu berarti hanya kepentingan pribadi dan itu bukan visi dan misi partai di sini” kata Mas Nug.
Persoalan travel dokumen yang saat ini sulit didapat dari Konsulat Timor Leste di Kupang karena terbentur aturan hukum di Indonesia menjadi salah satu pembahasan malam itu, ada usulan dari Mas Nug kalau memang sulit mendapatkan travel dokumen dari Konsulat sebaiknnya meminta surat dari “Menisterio Estrangerio”, tetapi di lain pikiran Suster Monika mengatakan sangat sulit karena untuk hal ini Menisterio Estrangerio tetap mempercayai Konsulat sebagai perwakilan mereka di negara lain untuk mengurusnya. Yang perlu kita jelaskan kepada DEPHUKHAM Indonesia adalah ini persoalan pengungsi yang ingin kembali ke negara asal, jadi setidaknya mereka bisa mendapatkan dispensasi dengan cukup mengantongi “Surat Keterangan Pindah Luar Negeri” dari Dinas Kependudukan setempat.
Teman-teman Grupu juga akan membuat surat yang akan di tujukan kepada Pemerintah setempat dengan di lampirkan hasil kerja yang sudah di lakukan, hal ini di maksud untuk bisa membuka mata para pemimpin untuk bisa mendukung proses repatriasi mandiri ini.
“Itu nanti kita bahas dalam pertemuan internal Grupu, yang terpenting sekarang kita membahas apa yang di pertanyakan oleh Nato, karena itu sangat penting sekali dalam kerja kita” kata Manuel yang di sambung dengan Mario. Saya sendiri mengangkat persoalan persoalan teknis lain seperti koordinasi yang masih lemah, berlarutnya hasil konsulidasi ke lapangan sehingga membuat proses pemulangan menjadi lama.
Untuk itu kami bersepakat bahwa setelah data di kirim ke Timor Leste dan di lakukan klarifikasi di lapangan baru calon peserta repatriasi mengurus surat dari Desa atau Kelurahan sehingga mereka tidak menunggu lama itu untuk menjaga stok pangan mereka masih tersedia cukup.
Pertemuan yang berlangsung sederhana itu cuma berjalan dua setengah jam, malam itu cuma Mas Nug yang membawa laptop, sehingga saya memberikan kopyan data keluarga yang akan pulang namun belum tahu pasti waktunya.
Beberapa hal lain akan di bicarakan secara internal Grupu, karena beberapa persoalan penting yang di bahas nanti. Juga issue bahwa sebagian kecil orang yang berpendapat kalau masalah di dalam negeri belum selesai sudah membawa masalah baru yaitu eks pengungusi yang katanya “ menyuruh “ mereka untuk kembali. Masalah ini langsung di jelaskan oleh Manuel “ kalau ada orang yang berbicara seperti itu berarti dia tidak mengerti persoalan yang sebenarnya, kami tidak menyuruh mereka untuk kembali tapi kami hanya fasilitasi kepulangan mereka, ibarat kami seperti sebuah jembatan yang membantu mereka bisa menyeberang”.
Malam makin larut, kantor Yayasan HAK mulai kelihatan lengang tidak seperti awal pertemuan berlangsung, Waktu sudah menunjukan pukul 09:30 malam, selisih waktu satu jam dengan Indonesia tengah. Pertemuan pun diakhiri, Suster Monika pamit untuk kembali, sebelumnya Ia mengucapkan banyak terima kasih karena sudah luangkan waktu datang ke Dili dan Bazartete .
Saya juga minta ijin , kebetulan adik sepupu datang menjemput untuk tengok rumah sebentar. Di balik kendaraan yang saya tumpangi sekilas saya melihat Manuel dan Mas Nug masih terlihat berbincang-bincang di pondok itu. Ini malam terakhir, besok saya akan kembali ke Atambua.
****
Ket:
1. Menisterio Estrangerio = Kementrian Luar Negeri
2. Madre = Suster/rohaniawati
3. Seguranca = Pengamanan
4. Distric = Kabupaten
5. Sub Distric = Kecamatan
6.Grupu Fila Hikas Knua = Group yang bekerja untuk memfasilitasi keluarga eks pengung yang pulang dari Timor Barat
7. Yayasan Hak = salah satu Yayasan yang bekerja di bidang Hak Asasi Manusia, Yayasan ini di bentuk saat masih pemerintahan Indonesia
8. Escravas Do Sagrado Coracao De Jejus = Nama Kongregasi Suster di Bazartete.
Nato, saya usul naskah ini tidak dibuat rapi kanan karena ia membuat mata cepat lelah dalam mencari sambungan-sambungan setiap baris. Terima kasih.
BalasHapusOk, terima kasih atas masukan nya Mas Andreas, akan Saya perbaiki.
BalasHapussaya jadi teringat dengan konflik aceh dulu
BalasHapussalam dari bada aceh...
Terima kasih Idroes, salam kenal juga. Saya dari Timor.
BalasHapusNama: __ Hendi Zikri Didi
BalasHapusBandar: _______________ Melacca
pekerjaan: _ Pemilik perniagaan
Sebarang notis: ____ hendidi01@gmail.com
Halo semua, sila berhati-hati tentang mendapatkan pinjaman di sini, saya telah bertemu dengan banyak peminjam palsu di internet, saya telah menipu saya hampir menyerah, sehingga saya bertemu seorang rakan yang baru saja memohon pinjaman dan dia mendapat pinjaman tanpa tekanan, jadi dia memperkenalkan saya kepada legitamate AASIMAHA ADILA AHMED LOIR FIRM, saya memohon Rm1.3 juta. Saya mempunyai pinjaman saya kurang dari 2 jam hanya 1% tanpa cagaran. Saya sangat gembira kerana saya diselamatkan daripada mendapatkan hutang miskin. jadi saya nasihat semua orang di sini memerlukan pinjaman untuk menghubungi AASIMAHA dan saya memberi jaminan bahawa anda akan mendapat pinjaman anda.
Pusat Aplikasi / Hubungi
E-mail: ._________ aasimahaadilaahmed.loanfirm@gmail.com
WhatsApp ____________________ + 447723553516