Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2011

Perjalanan 5 keluarga 12 jiwa eks Pengungsi Timor-Timur kembali ke Dilor Viqueque -Timor leste

Gambar
Hampir sebelas tahun lamanya tinggal di tempat pengungsian Timor Barat paskah jajak pendapat Timor-Timur tahun 1999 membuat sejumlah warga eks Timor-Timur hidupnya masih terkatung-katung terutama yang masih tinggal di kamp , tidak di pungkiri mereka yang berprofesi sebagai petani dan yang masih tinggal di kamp pengungsian juga yang masih tinggal di lahan milik warga lokal baik itu lahan pinjaman, kontrakan dan lahan penyerahan kini membuat mereka berpikir panjang akan kelangsungan hidup mereka yang lebih baik di masa mendatang. Kebutuhan ekonomi yang meningkat dalam rumah tangga, tambahan jumlah anggota keluarga dari tahun ketahun dalam rumah yang tinggal yang ukurannya hanya cuman untuk satu keluarga serta tidak di tunjang dengan ketersediaan lahan untuk di garap yang cukup membuat keputusan pulang kembali ke tanah kelahiran di Timor leste menjadi salah satu solusi yang terbaik. Salah satu adalah 5 kepala keluarga 12 orang dari kamp Naibonat yang memutuskan untuk kembali ke tana

Mbak Ida dan warung kopinya

Gambar
“Awalnya bukan di sini, sering  pindah-pindah. Sekarang baru menetap di sini ” kata mbak  Ida yang punya warung dengan dialek Sundanya  sambil  mengaduk  segelas susu jahe sore itu. Mereka tiga bersaudara, kakaknya  yang sulung juga membuka usaha yang sama. Mbak Ida bersama adik bungsu laki-laki bergantian menjaga  warung ini. Warung kopi  sebutannya, berada 10 meter  di depan kantor  Yayasan Pantau Kebayoran lama. Bukan  minuman kopi saja yang di jual, ada me rebus, gorengan, bubur kacang hijau,  roti bakar, dan telur. Harganya murah meriah. Saya selalu sarapan pagi di warung ini selama mengikuti kursus “Jurnalisme Sastrawi” di Jakarta. Warung ini bukanya  24 jam,  yang datang minum atau makan di sini pun orang-orang di sekitar, juga para sopir angkot. “Udah berapa lama buka warung ini mbak” “ Dulu Bapak yang kelolah dari tahun 1989, tapi karena udah tua ya gantian anak-anak yang ngurusin” “Kalo Mbak sendiri sejak kapan ngurusnya” “ Dari tahun 2000” “Wah..berarti 

Murah di Jakarta, Mahal di Atambua...

Gambar
“Aahhh.... ko murah ya ?” guman saya dalam hati seraya mengambil uang lima puluh rIbu rupiah untuk membayar sarapan pagi  dua piring masing-masing  nasi  telur tambah tempe dan nasi ikan di warung kecil  yang letaknya di depan kantor Pantau. Pagi itu selasa (5/7) rencana ke kantor Pantau untuk mengerjakan tugas pertama  yang di berikan oleh Janet Steele. Tik...tik..tik  terdengar Bunyi  arloji  tangan saya  sudah menunjukan jam 9:30,  janjian sama teman lain untuk bertemu di kantor Pantau jam 10:00. Dengan memakai celana jeans hitam, kaos biru dan selempang adat  Timor (tais) yang melingkar di leher,  cepat-cepat saya ayunkan langkah kaki untuk menuju ke kantor Pantau.  Kurang dari sepuluh menit  perjalanan dari kos menuju kantor Pantau yang letaknya di pinggir jalan kebayoran lama nomor 18 CD lantai empat. “Hai selamat pagi semuanya” sapa saya kepada teman lain yang  sudah hadir sebelumnya. Mereka sedang  mengerjakan tugas  sambil  wi-fi dan lain sebagainya.  Baru tiga

Dua Anak Kecil Yang Menggemaskan...

Gambar
Jam sembilan  pagi  di depan halaman rumah  kos yang tak jauh dari kantor Pantau kira-kira 500 meter  jaraknya,  dengan jalan masuk yang lebarnya cuma  2 meter dan saluran air kecil di samping kiri  kanan jalan , masih  terasa  segar udaranya pagi ini. Di halaman rumah terdapat tanaman rumput hijau yang terpotong  rapi  nampak masih basah karena embun pagi . Beberapa motor anak kos berbagai merk  sedang parkir di atas teras dan juga satu buah sedan merah  yang  masih berada di dalam garasi.  Sepatu dan sendal  laki-laki maupun perempuan masih  berserakan di teras depan maupun di belakang  rumah , kicauan burung  di dalam sangkar yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang membuat suasana pagi itu seperti di firdaus . Halaman rumah kos ini   luasnya  tidak lebih dari lapangan badminton  itu berpagar pintu besi berwarna biru setinggi satu meter lebih. Suara orang –orang terdengar  di sekitarnya menandakan mereka sibuk  dengan kegiatannya masing-masing, termasuk ibu kos dan anak

Kembali Ke Tanah Kelahiran

Gambar
Deskulpa, hau bele kolia ho ita bo’ot konaba asuntu ida ne”? , seorang  orang UNPOL  ( Polisi PBB)  dari Brazil  dengan badan tegak  atletis datang menghampiri saya tepat di depan  pos TNI yang ada di perbatasan Motamasin RI-RDTL. Siang itu (30/1/2011) cuaca di perbatasan Motamasin begitu panas, debu yang berterbangan karena  arus lalulintas kendaraan  pengangkut para eks pengungsi  Timor-Timur yang memutuskan  kembali ke tanah kelahiran mereka dari kamp menuju pintu perbatasan. Karena banyaknya debu, membuat saya memakai penutup hidung untuk menghindari kotoran debu dari tiupan angin.  ” Horeee.. pulang ke Timor..pulang ke Timor” beberapa orang berteriak kegirangan di atas truk yang sedang melintas ke perbatasan. Mereka yang pulang  berasal dari kamp pengungsi di wilayah selatan Belu sebanyak 67 jiwa . Tujuan mereka ke Distric Kovalima Timor Leste. Sebagian dari mereka yang pulang  adalah  para lansia dan anak-anak. Alasannya  bagi yang sudah lansia ingin wafat di tanah k