Kembali Ke Tanah Kelahiran
Deskulpa, hau bele kolia ho ita bo’ot konaba asuntu ida ne”?, seorang orang UNPOL ( Polisi PBB) dari Brazil dengan badan tegak atletis datang menghampiri saya tepat di depan pos TNI yang ada di perbatasan Motamasin RI-RDTL.
Siang itu (30/1/2011) cuaca di perbatasan Motamasin begitu panas, debu yang berterbangan karena arus lalulintas kendaraan pengangkut para eks pengungsi Timor-Timur yang memutuskan kembali ke tanah kelahiran mereka dari kamp menuju pintu perbatasan. Karena banyaknya debu, membuat saya memakai penutup hidung untuk menghindari kotoran debu dari tiupan angin.
” Horeee.. pulang ke Timor..pulang ke Timor” beberapa orang berteriak kegirangan di atas truk yang sedang melintas ke perbatasan. Mereka yang pulang berasal dari kamp pengungsi di wilayah selatan Belu sebanyak 67 jiwa . Tujuan mereka ke Distric Kovalima Timor Leste. Sebagian dari mereka yang pulang adalah para lansia dan anak-anak. Alasannya bagi yang sudah lansia ingin wafat di tanah kelahiran sendri. Berbagai alasan mereka memutuskan untuk pulang, salah satu yang mendasar adalah persoalan ekonomi. Situasi di perbatasan Motamasin saat itu sangat ramai, seperti sedang ada pasar mingguan (kebiasaan di Timor ada jadwal pasar setiap minggunya). Apalagi di tambah dengan keluarga dan tetangga yang mengantar sampai perbatasan serta tumpukan barang-barang bawaan: perabot rumah tangga, ternak dan lainnya.
Berbagai corak dan warna seragam petugas penjaga perbatasan, baik itu dari Timor Leste maupun Indonesai (Tentara, Polisi, Imigrasi, Beacukai ) di tambah lagi polisi PBB dengan seragam negara mereka masing-masing ( Brazil, Singapura, Filphina,Jordania, Pakistan) yang hadir saat itu untuk mengecek barang-barang yang bisa dibawa masuk. Di area perbatasan yang luasnya kurang dari luas lapangan sepak bola saya melihat aktifitas yang tinggi bongkar muat barang-barang dari kendaraan truk Indonesia di pindahkan ke kendaran Timor Leste.
Saya terkesima karena di area yang hampir 100 km jaraknya dari kota Atambua itu orang-orang berkomunikasi dengan menggunakan empat bahasa, diantaranya: bahasa inggris, Indonesia, Tetum-Portugis, dan Bunak. Bunak adalah bahasa suku dari komunitas yang memutuskan kembali ke Timor Leste, saya sendiri hanya bisa fasih berbahasa Indonesia dan Tetum-Portugis (bahasa nasional negara Timor Leste).
Dengan tubuh yang masih berkeringat , bercampur aroma parfum membuat tubuh ini semakin lelah dan gerah. Seiring datangnya rasa capek dan lapar di siang menjelang sore itu, tiba-tiba dua orang Polisi PBB berjalan mendekat ke arah saya yang saat itu sedang berbincang dengan teman yang lain.
“Deskulpa, hau bele kolia ho ita bo’ot konaba asuntu ida ne”, dua orang Polisi PBB itu masing-masing dari Brazil dan Jordania dengan langkah yang gagah datang dan berbincang dengan saya. Saya tidak bisa berbicara bahasa inggris dan mereka juga tidak bisa berbicara bahasa Indonesia.
kami memutuskan untuk berbicara bahasa Tetum-Portugis, karena salah satu dari mereka fasih berbahasa Tetum-Portugis.
“Sim , bele deit la iha problema”saya balas menjawab. Saya dan mereka terlibat pembicaraan hampir 30 menit lamanya. Mereka mempertanyakan kenapa masih ada orang eks pengungsi Timor-Timur yang pulang padahal program repatriasi itu sudah tidak ada lagi dan mereka sudah menjadi warga negara Indonesia. Saya menjelaskan secara detail, satu persatu, tentang kehidupan mereka selama 11 tahun hidup di kamp pengungsian . Salah satu persoalan mendasar yang membuat mereka memutuskan untuk pulang adalah ekonomi, walaupun mereka sudah menjadi warga negara Indonesia tidak tertutup kemungkinan mereka kembali ke tanah kelahiran mereka sendiri, karena itu adalah daerah mereka. Informasi yang saya berikan menurutnya sangat penting dan mereka baru tahu inti persoalannya.
Diakhir pembicaraan mereka senyum sambil berkata “ Obrigado ba ita nia informasaun” [2] seraya membalikan badan pergi meninggalkan saya yang saat itu sudah sangat lapar sekali.
Sore harinya, saya mendekatkan diri di pintu perbatasan yang terbuat dari besi dan di lingkari dengan kawat berduri tepat di jembatan yang di tengahnya di cat kuning, dengan beberapa teman dan staf imigrasi Indonesia saya menatap dengan perasaan haru , lega rasanya karena tim kami sudah bekerja keras memfasilitasi sekelompok orang eks pengungsi Timor-Timur yang dengan keputusan mereka sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun untuk memilih kembali ke tanah kelahiran mereka.
Ketika saya membalikan badan ke arah wilayah Indonesia, saya melihat masih ada beberapa keluarga yang saat itu masih berada di situ juga merasa sedih bahkan ada yang menangis melihat keluarga mereka yang selama ini hidup di kamp selama 11 tahun akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran.
Hari sudah gelap, tidak tampak lagi matahari , saya dan teman-teman bergegas kembali ke tempat penginapan malam itu untuk beristirahat sebelum kembali ke Atambua, pintu perbatasan kembali menjadi sunyi seketika.
Komentar
Posting Komentar