Cerita Yang Tertinggal
Tulisan Inspirasi
(ANATO MOREIRA)
Pernahkah
anda merasakan bagaimana tinggal di
tempat pengungsian? Tinggal di barak-barak, rumah dan lahan seadanya yang bukan milik anda? Masih pinjam pakai,
kontrak sementara dan lain sebagainya. Perasaan tidak akan sama dengan mereka
yang memiliki rumah sederhana tapi itu di lahan milik sendiri yang aman, pasti akan terasa nyaman,
ada akses air, sarana kesehatan yang berjalan baik, dan pelayanan publik yang baik bagi
masyarakat.
Kata
orang di kamp “ buka moris ne’e tenki
serviso”/ cari hidup itu harus kerja. Iya memang.. harus kerja.. kerja dan
kerja, kalau tidak bekerja mau makan dari mana?, Tapi apakah anda merasa kerja
di lahan sendiri yang baik, ataukah di lahan orang lain dalam posisi sebagai Eks pengungsi dengan cara bagi hasil,
mana menurut anda, baik yang baik? Ketika
saya menulis ini, saya mendapat banyak pertanyaan dari berbagai orang, tentang
warga Eks Timor-Timur yang kembali secara mandiri ke Timor Leste . Bagaimana
mereka hidup disana nanti, apa lahan mereka ada atau sudah di rebut orang,
bagaimana jaminan keselamatan dan sebagainya –sebagainya.
Eksodus
besar-besaran yang terjadi pada 1999 setelah kekalahan Pro Otonomi pada jajak
pendapat, mengakibatkan setengah warga Timor-Timur atau 250ribu jiwa mengungsi ke Timor Barat
Indonesia sebagai memilih bertahan di hutan, serta mengungsi ke Australia dan Portugal.
Warga yang pulang di sambut Keluarga di Viqueque |
Yang
mengungsi ke Timor Barat (Atambua-Kefa-Soe dan Kupang) mereka mayoritas
berprofesi petani 75% sisanya adalah pegawai negeri, Tentara dan
Polisi. Jujur, ketika terjadi pengungsian itu, banyak orang tidak siap untuk
meninggalkan kampung halaman mereka, mengingat karena situasi keamanan waktu
itu yang tidak kondisif, carut marut dan
tidak menentu sehingga warga mengungsi dengan seadanya. Artinya adalah, yang ada
di kepala masyarakat itu mengungsi tidak “permanen” dan berpikir akan kembali
bila situasi kondusif. Mereka meninggalkan harta benda dan tanah saat itu.
Namun
apa yang terjadi kini 15 tahun sudah
warga Eks Timor-Timur hidup di perantauan, posisi kini sudah menjadi warga
negara Indonesia. Bila kita telusuri
kehidupan warga petani Eks Tim-Tim, masih jauh dari harapan, masih ada yang
tinggal di kamp, lokasi resetlemen yang sudah tidak lagi nyaman (karena status
tanah tidak jelas), lahan garapan yang makin sempit tidak sebanding dengan kebutuhan hidup dari hari-kehari, bulan ke bulan,
tahun ke tahun yang makin tinggi. Membiayai anak sekolah kah?, makan di rumah
kah? Kesedian pangan dalam setahun, cukup kah? Mereka bekerja di tanah orang
yang terbatas pasti tidak cukup semua itu.
Kilasan
balik ketika mereka bekerja di lahan sendiri (saat masih di Timor-Timur) semua
mencukupi, mereka tidak mendambakan rumah yang harus lantai beratapkan seng atau tembok, yang perlu adalah
bagaimana tinggal di lahan milik sendiri
yang punya lahan garapan, toh dari waktu ke waktu mereka akan dengan
sendirinya mendirikan rumah dengan hasil kerja mereka sendiri, intinya semua
itu “ NYAMAN” .
Saat
ini sebagian warga Eks Timor-Timur yang tinggal di Timor barat memlih untuk
kembali ke tanah kelahiran Timor Leste
(dulu Timor-Timur) secara mandiri.
Biar..biarlah mereka memutuskan yang terbaik bagi keluarga dan anak-anak. Kita tidak boleh
memaksakan kehendak, dan juga bagi mereka yang memilih tinggal tetap di
Indonesia. Mereka yang pulang juga bukan
membenci Indonesia, tapi mereka berpikir bagaimana cara hidup yang baik, hidup
yang bisa menghidupkan istri anak, hidup bagaimana bisa mencari uang untuk
menyekolahkan anak-anak demi masa depan.
Indonesia
menjadi kenangan yang manis penuh suka
dan duka tersendiri bagi warga Eks Timor-Timur yang tersimpan dalam hati dan
juga menjadi sejarah perjalanan bangsa
Timor Leste, mereka akan kenang sampai kapanpun. Artinya warga Eks Timor-Timur
yang memilih kembali ke tanah kelahiran suatu saat akan ke indonesia dengan status Warga negara Timor Leste dengan berkunjung ke keluarga, berbelanja misalnya atau sekedar
liburan. Ini yang di harapakan, bukan kebencian, dendam yang diwariskan.
Kepulangan
7 Keluarga 25 Jiwa warga eks Timor Timur dari Naibonat pada 29 November 2014
adalah keputusan yang diambil tanpa paksaan, keputusan yang sudah di pikirkan
matang-matang sebelumnya demi masa depan mereka. Mereka sendiri yang melakukan rekonsilisasi
keluarga.
Pada
dasarnya Negara yang empunya masyarakat bertanggung jawab memikirkan atau
menemukan solusi atas keputusan
kepulangan ini. Minimum memfasilitasi
bagaimana cara mereka pulang. Lembaga swadaya masyarakat sebagai suport pada
pemerintah.
Saya
mengajak kita semua, yang peduli pada masalah sosial, masalah kesejahteraan
demi kehidupan yang layak bagi
masyarakatnya, mari kita bergandengan tangan turut andil dalam membantu mencari
jalan keluarga. Kita bukan pengambil keputusan
kita hanya membantu memfasilitasi.
Mereka yang pulang berkumpul dengan keluarga |
Timor
Leste negara yang berdaulat, punya hukum, punya aturan, saya yakin akan
memperhatikan warga negaranya. Semoga mereka yang pulang di perhatikan oleh
Pemerintah Timor Leste dan sudah sama
haknya dengan warga negara Timor Leste yang di sana. Mereka adalah sahabat kita, mereka adalah
keluarga kita, mereka yang kita cinta, mereka yang kita rindu semoga kehidupan mereka bahagia berkumpul kembali bersama keluarga
dan membangun di kampung halaman
tercinta.
Penulis
Aktivis Pemerhati Sosial
Komentar
Posting Komentar