Cerita Yang Tertinggal



 Tulisan Inspirasi
 (ANATO MOREIRA)


 “ Kami mau pulang karena ingin berkumpul kembali dengan keluarga di sana”  sepenggal kalimat dari Bapak  Joao Pinto salah satu keluarga  yang juga pulang kembali ke Viqueque pada 29 November lalu. 


Pernahkah anda merasakan bagaimana  tinggal di tempat pengungsian? Tinggal di barak-barak, rumah dan lahan seadanya  yang bukan milik anda? Masih pinjam pakai, kontrak sementara dan lain sebagainya. Perasaan tidak akan sama dengan mereka yang  memiliki rumah  sederhana tapi itu di lahan milik  sendiri yang aman, pasti akan terasa nyaman, ada akses air, sarana kesehatan yang berjalan baik,  dan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat.


Kata orang di kamp “ buka moris ne’e tenki serviso”/ cari hidup itu harus kerja. Iya memang.. harus kerja.. kerja dan kerja, kalau tidak bekerja mau makan dari mana?, Tapi apakah anda merasa kerja di lahan sendiri yang baik, ataukah di lahan orang lain dalam posisi  sebagai Eks pengungsi dengan cara bagi hasil, mana menurut anda, baik  yang baik? Ketika saya menulis ini, saya mendapat banyak pertanyaan dari berbagai orang, tentang warga Eks Timor-Timur yang kembali  secara mandiri ke Timor Leste . Bagaimana mereka hidup disana nanti, apa lahan mereka ada atau sudah di rebut orang, bagaimana jaminan keselamatan dan sebagainya –sebagainya.

Eksodus besar-besaran yang terjadi pada 1999 setelah kekalahan Pro Otonomi pada jajak pendapat, mengakibatkan setengah warga Timor-Timur  atau 250ribu jiwa mengungsi ke Timor Barat Indonesia sebagai memilih bertahan di hutan,  serta mengungsi ke Australia dan Portugal.

Warga yang pulang di sambut Keluarga di Viqueque
Yang mengungsi ke Timor Barat (Atambua-Kefa-Soe dan Kupang) mereka mayoritas berprofesi  petani  75% sisanya adalah pegawai negeri, Tentara dan Polisi. Jujur, ketika terjadi pengungsian itu, banyak orang tidak siap untuk meninggalkan kampung halaman mereka, mengingat karena situasi keamanan waktu itu yang tidak kondisif, carut marut  dan tidak menentu sehingga warga mengungsi dengan seadanya. Artinya adalah, yang ada di kepala masyarakat itu mengungsi tidak “permanen” dan berpikir akan kembali bila situasi kondusif. Mereka meninggalkan harta  benda dan tanah saat itu.

Namun apa yang terjadi  kini 15 tahun sudah warga Eks Timor-Timur hidup di perantauan, posisi kini sudah menjadi warga negara Indonesia.  Bila kita telusuri kehidupan warga petani Eks Tim-Tim, masih jauh dari harapan, masih ada yang tinggal di kamp, lokasi resetlemen yang sudah tidak lagi nyaman (karena status tanah tidak jelas), lahan garapan yang makin sempit tidak sebanding dengan  kebutuhan hidup dari hari-kehari, bulan ke bulan, tahun ke tahun yang makin tinggi. Membiayai anak sekolah kah?, makan di rumah kah? Kesedian pangan dalam setahun, cukup kah? Mereka bekerja di tanah orang yang terbatas pasti tidak cukup semua itu.

Kilasan balik ketika mereka bekerja di lahan sendiri (saat masih di Timor-Timur) semua mencukupi, mereka tidak mendambakan rumah yang harus lantai  beratapkan seng atau tembok, yang perlu adalah bagaimana tinggal di lahan milik sendiri  yang punya lahan garapan, toh dari waktu ke waktu mereka akan dengan sendirinya mendirikan rumah dengan hasil kerja mereka sendiri, intinya semua itu “ NYAMAN” .

Saat ini sebagian warga Eks Timor-Timur yang tinggal di Timor barat memlih untuk kembali ke  tanah kelahiran Timor Leste (dulu Timor-Timur) secara mandiri.  Biar..biarlah mereka memutuskan yang terbaik  bagi keluarga dan anak-anak. Kita tidak boleh memaksakan kehendak, dan juga bagi mereka yang memilih tinggal tetap di Indonesia. Mereka yang pulang juga  bukan membenci Indonesia, tapi mereka berpikir bagaimana cara hidup yang baik, hidup yang bisa menghidupkan istri anak, hidup bagaimana bisa mencari uang untuk menyekolahkan anak-anak demi masa depan.

Indonesia menjadi kenangan yang manis  penuh suka dan duka tersendiri bagi warga Eks Timor-Timur yang tersimpan dalam hati dan juga menjadi sejarah perjalanan  bangsa Timor Leste, mereka akan kenang sampai kapanpun. Artinya warga Eks Timor-Timur yang memilih kembali ke tanah kelahiran suatu saat akan ke indonesia  dengan status Warga negara Timor Leste  dengan berkunjung  ke keluarga, berbelanja misalnya atau sekedar liburan. Ini yang di harapakan, bukan kebencian, dendam yang  diwariskan.

Kepulangan 7 Keluarga 25 Jiwa warga eks Timor Timur dari Naibonat pada 29 November 2014 adalah keputusan yang diambil tanpa paksaan, keputusan yang sudah di pikirkan matang-matang sebelumnya demi masa depan mereka.  Mereka sendiri yang melakukan rekonsilisasi keluarga. 

Pada dasarnya Negara yang empunya masyarakat bertanggung jawab memikirkan atau menemukan solusi atas keputusan  kepulangan ini. Minimum memfasilitasi  bagaimana cara mereka pulang.   Lembaga swadaya masyarakat sebagai suport pada pemerintah.
Saya mengajak kita semua, yang peduli pada masalah sosial, masalah kesejahteraan demi  kehidupan yang layak bagi masyarakatnya, mari kita bergandengan tangan turut andil dalam membantu mencari jalan keluarga. Kita bukan pengambil  keputusan  kita  hanya membantu memfasilitasi.

Mereka yang pulang berkumpul dengan keluarga
Timor Leste negara yang berdaulat, punya hukum, punya aturan, saya yakin akan memperhatikan warga negaranya. Semoga mereka yang pulang di perhatikan oleh Pemerintah Timor Leste  dan sudah sama haknya dengan warga negara Timor Leste yang di sana.  Mereka adalah sahabat kita, mereka adalah keluarga kita, mereka yang kita cinta, mereka yang kita rindu  semoga kehidupan mereka  bahagia berkumpul kembali bersama keluarga dan membangun  di kampung halaman tercinta.


Penulis
Aktivis Pemerhati Sosial




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tiga Hari “Visita” Timor Leste

Mengintip Perbatasan Dihari Kemerdekaan “Merdeka Dulu Dan Sekarang”

Perjalanan 5 keluarga 12 jiwa eks Pengungsi Timor-Timur kembali ke Dilor Viqueque -Timor leste